Tuesday, February 28, 2006

Indonesia yang makin mencemaskan saja

Rasanya semua rakyat Indonesia sangat setuju dengan pernyataan itu. Terlepas dia berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi, menengah atau bawah. Atau dia yang pernah sekolah atau sekolah. Pokoknya semua rakyat dari seluruh lapisan. Semuanya cemas.

Mungkin saja ada beberapa orang yang merasa hidupnya fine-fine saja. Mereka itu masih bisa menjalankan bisnisnya dengan tenang, membuat keuntungan bagi perusahaannya dan masih bisa tertawa sambil menikmati berbagai jenis makanan dari resoran satu ke restoran lainnya. Atau ada juga orang yang dengan kesadaran menjadikan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia ini menjadi inspirasi untuk bangkit menyongsong kehidupan. Mereka-mereka inilah yang dalam hidupnya selalu memandang bahwa di balik kegelapan pasti ada setitik cahaya. Karena itulah mereka tak perlu cemas dengan kondisi Indonesia yang makin mencemaskan ini.

Ada banyak kejadian yang begitu kompleks dan bertubi-tubi yang mendera bangsa ini. Dalam skala luas bangsa ini tak bisa menolak diseret ke dalam perang kapitalisme global. Kapitalisme global dengan segala pengaruhnya ( ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain ) menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tidak berdaya. Menjadi bangsa yang hanya bisa manut dengan semua yang datang dari luar. Tak ada virus ketahanan kepribadian bangsa ini yang bisa menolak atau menahan pengrauh-pengaruh tersebut. Sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang tergagap-gagap.
Dalam skala lokal, bangsa ini masih mencari bentuk bagaimana menjadi sebuah bangsa yang berkarakter. Bangsa ini masih saja direpotkan bagaimana mencari bentuk hubungan antar agama, ras, suku, aliran politik, aliran keagamaan, pengangguran, pendidikan, pusat-daerah, dan masih banyak yang lainnya. Lebih celaka lagi tiap elemen yang ada di bangsa ini tidak bisa bersatu baik secara ideologi maupun kepentingan. Maka akibatnya makin runyamlah kehidupan bangsa ini dari hari ke hari. Berita soal korupsi, penyalahgunaan wewenang, merosotnya nilai-nilai moral, dan berita-berita buruk lainnya lebih mendominasi percakapan sehari-hari daripada berita-berita yang menggembirakan.
Ah, Indonesiaku yang malang.

Monday, February 27, 2006

Selamat tidur anakku

Memandangmu saat tidur
aku seperti melihat sorga
yang kau rengkuh
dalam pejaman mata
begitu damai
begitu memesona

Aku tak tahu kau bermimpi apa
mungkin kau bertemu seribu malaikat
yang mengajakmu bermain sepeda
menelusuri lembah, bukit atau kebun bunga
mungkin juga kau bertemu
dengan badut lucu
yang mengajakmu menari

Pada nafasmu
kutitipkan cinta
hingga nanti saat terbangun
kau akan tahu
artinya mencinta dan dicinta

Pada ubun-ubunmu
kusemaikan doa
hingga saat besar kelak
kau akan mengerti
arti sebuah pengharapan setiap orang tua

Selamat tidur anakku,
beristirahatlah engkau
setelah seharian ini
kau bikin jengkel mamamu

Jakarta, 28 Februari 2006

puisi lagi

Hampa

Angin meniupkan bau tuba cinta
Dari malam ke malam
Memenuhi dada, memabukkan kepala
Melumpuhkan tulang sampai tandas

Malam ini tak ada gairah
Bulan dililit gelisah
Bintang meneteskan darah
Kesenyapan membius dan meracuni
Badan terkapar lemah, pasrah
Saat jejaka menanti kekasih
sambil bertanya lirih :
Akankah matahari terbit esok hari?

Wednesday, February 22, 2006

Percakapan Sebelum Tidur

Istriku,
Selalu saja sebelum tidur, kita berbicara apa saja. Tentang tingkah polah anak kita, tetangga yang suka berisik, saudara yang kena masalah dan tentu saja semua yang kita kerjakan sepanjang hari.
Inilah cara kita mensyukuri hidup. Mengingat beribu rahmat, nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada kita. Disaat seperti ini pula kita mencoba terbuka untuk mengoreksi apakah kita sudah memberikan yang terbaik. Apakah aku sudah menjadi suami yang baik untukmu dan juga sudah menjadi ayah yang baik untuk anak kita. Demikian juga sebaliknya. Luar biasa, nikmat sekali.
Ini juga cara kita menyegarkan kembali batin dan badan kita yang capek seharian. Saat merebahkan badan dengan mata saling menatap, kita seakan menemukan kembali tenaga yang hampir habis digerus rutinitas sehari-hari.
Meskipun kadang percakapan sebelum tidur ini membuat kita berantem. Tapi itu tidak membuat kita meniadakannya. Karena kita benar-benar sadar bahwa kita sangat membutuhkan saat-saat seperti ini.
Akhirnya selamat tidur istriku. Mimpi indahlah engkau. Esok kita bangun dengan semangat baru sebagai seorang manusia.

Tuesday, February 14, 2006

lirik lagukah?

Enyahlah

Masih saja pikirkan tentangmu
Bersama luka yang kau tinggalkan
Jadikan hidup s’ketika lumpuh
Meski sadar harus dirasakan

Karena kutahu hidup ini milikku
Karena kutahu kau tak mau berbagi
Cinta telah menjelma duka kepedihan
tak kan kembali walau sangat kuharapkan


*enyahlah engkau wahai duka
enyahlah sekarang juga
enyahlah kau wahai cinta
enyahlah tanpa berita

masih saja pikirkan tentangmu
biar saja, tetap kubiarkan
aku cuma manusia dungu
tak mampu halau kenangan

Jakarta, 8 Februari 2006



Cemburuku

Aku sungguh cemburu kepada angin
Yang setiap saat bisa menyentuh tubuhmu
Aku sungguh cemburu kepada cermin
Yang selalu kau tatap sepanjang waktu

Tak kan kubiarkan debu
Mengotori kulitmu
Sungguh kulakukan itu
Karna ku cinta kamu

Apa saja yang jadi perhatianmu
Aku ingin itu adalah aku
Apa saja yang akan kau lakukan
Aku ingin selalu bersamaku

*cinta telah membuatku gila
menganggap kamu untukku saja
maafkan bila kamu tersiksa
aku tak peduli itu s’mua

Aku sungguh cemburu kepada hujan
Saat kau bilang ia menyejukkan
Takkan pernah berhenti aku yakinkan
Akulah satu-satunya pahlawan

Jakarta, 8 Februari 2006


Hanya Bayang

Dunia jadi penuh pelangi
Saat kau usap pipiku
Sepenuh mesra dari hati
Melambungkan isi kalbu

Tawamu terbitkan gairah
Usir resah lari menjauh
Ringankan kaki melangkah
Sambut mimpi harap kutempuh

*ternyata semua hanya bayang
hadirkan seribu luka, bahkan sejuta
menggantung diriku di awang
menghempaskanku ke jurang nestapa

ternyata semua hanya bayang
tak ada lagi cinta, apalagi sentuhan
diriku hanyalah kain usang
yang teronggok pilu di pojok jaman

Jakarta, 8 Februari 2006


Kau tak Tergantikan

Kalau kudamai saat memeluknya
Itu semua bohong
Kalau ia membuat hatiku penuh
Pasti itu juga bohong

Cuma kamu yang bertahta di hidupku
Tak tergantikan, sungguh tak akan
Aku coba berjalan melewati waktu
Cuma luka yang aku dapatkan

Tolong kembalikan separo hatiku
Jangankan untuk menatap tegak dunia
Membuka mata saja rasanya kelu
Gelap gelap seakan hidup dalam goa

* Kau tak tergantikan
sudah berkali-kali kunyatakan
kau tak tergantikan
ku sperti menunggu kematian

Jakarta, 8 Februari 2006


Lalu Waktu

Detik berganti
Cerita berganti
Ada tetes airmata
juga derai tawa

semua mengalir
berjuta rupa hadir
tak mengapa, o tak mengapa
aku jadi tumpahan segala

* orang-orang hempaskan beban
jadikanku sandaran
bebaskan hati yang pedih
dari duka yang merintih

esok pasti bertemu
kudengar lagi seribu rahasia
semua kubagi padamu
hanya denganmu aku bisa bicara

kita cuma lampu dan bangku taman
jadi saksi beragam perjalanan
tak ada hitam putih kehidupan
demi murninya kesaksian

Jakarta, 8 Februari 2006

puisi lagi

Katanya cinta

Katanya cinta,
Tapi kenapa masih saja kau tebar
kebencian dimana-mana?

Lihatlah,
Betapa tangan-tangan itu telah menjelma
Palu godam kematian
Bagi teman, kerabat dan tetangga sendiri
Lihatlah,
Dada-dada mereka telah penuh
dengan bongkah-bongkah dendam
yang siap dimuntahkan

lihatlah ya lihatlah

katanya cinta,
tapi kenapa masih saja kau babat hutan
dan racuni sungai-sungai?

Maka jadilah bencana
Yang tak terduga datangnya
Tapi yang pasti,
jadilah bencana

Katanya cinta,
Tapi kenapa masih saja kau jejali anak istrimu
Dengan makanan
Yang entah darimana kau dapatkan

Hingga otak anakmu
Telah bebal menerima kebijaksanaan
Dan rahim istrimu telah busuk
Mengandung dosa peradaban

Katanya cinta,
Tapi kenapa masih saja kau ………………

Ah, aku pusing memikirnya
Karena kau selalu saja bermuka sejuta
Hingga aku hanya bisa berkata :
Katanya…katanya….


Jakarta, 8 Juli 2005



Nyanyi Luka

Malam
kelam
gelap
pengap
Sepi
duri
duka
bencana
cekam
diam
hancur
kubur
bintang lenyap
hampa harap
Udara berat
Dada penat
Bayang
Hilang
Sayat
Kiamat
Fana
Musna

Begitulah kekasih
Saat kau pergi dari hatiku

Jakarta, 8 Juli 2005