Melakukan perjalanan jauh (Jakarta - Solo - Jakarta), kena angin terus menerus (pas naik Senja Utama nggak pakai jaket) dan perut kosong (maklum lagi puasa) adalah beberapa penyebab kenapa aku bisa meriang di hari ke-13 puasa tahun ini.
Kalau soal penyebab mungkin sudah tau, cuma yang aku heran cara kerja si meriang ini yang super cepat dan misterius. Sabtu (22/9) dan Minggu (23/9) badan masih seger buger alias fit. Tapi Senin (24/9) badan mulai terasa dingin dan nggreges-nggreges (sori, nggak tau padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata ini). Dibawa kerja agak sedikit terlupa. Tapi begitu menjelang buka alias Senin sore, kondisi tambah parah. Buat jalan aja puyeng, hidung kayak mau pilek dan kening suka pusing.
Walhasil, buka puasa hari itu dilengkapi dengan Neozep dan Antangin tablet plus cepet2 tidur. Emang sih, sebentar aja langsung lelap. Bangun jam 3, dirasa-rasa kok si meriang masih bercokol. Rasanya males banget mau keluar kamar untuk menjangkau warteg terdekat buat sahur. Akhirnya sahur cuma sepotong apel dan dua gelas air putih. Sambil nunggu adzan subuh, baca My Name is Red-nya Orhan Pamuk. Itu novel emang rada-rada "beda". Sudut penceritaannya adalah orang pertama tunggal alias "aku" untuk semua tokoh-tokohnya. Jam 5, aku paksa selesain baca. Sebab kalau nggak dipaksa, pasti bisa sampe habis aku baca. Itu artinya:aku mengurangi waktu istirahat/tidur yang lagi aku butuhkan banget dan aku akan bolos kerja.
Sampai aku bangun tidur jam 7 pagi, si meriang masih juga nggak mau pergi. ya sudah, pergilah aku ngantor dengan kondisi badan yang masih nggak enak.
Sampai sekarang aku nggak ngerti gimana cara ngusir meriang....