Wednesday, March 29, 2006

Nyepi dan Cuti Bersama

Besok hari Kamis tanggal 30 Maret 2006 adalah Hari Raya Nyepi. Selamat untuk yang merayakan, semoga Nyepi membuat hati dan pikiran jadi bersih hingga damai pun tercurah ke bumi. Sebagai umat yang beragama tentu kita dengan penuh kesadaran menghormati hari raya saudara-sudara kita yang beragama Hindu. Pemerintah pun menjadikan Hari Raya Nyepi sebagai hari libur nasioanal. Dimana tujuannya terutama agar para pemeluk agama Hindu bisa menjalankan acara keagamaannya dengan tenang. Bagi kita yang tidak beragama Hindu, libur nasional ini memberikan kita waktu untuk katakanlah istirahat, kumpul bersama keluarga dan bila memungkinkan kita bisa berkunjung kepada saudara kita umat Hindu untuk mengucapkan selamat.
Rasanya nikmat sekali membayangkan cara beragama seperti ini. Dimana pemerintah menjadi fasilitator terciptanya kerukunan antar umat beragama dan antar umat beragama itu sendiri makin dewasa dengan selalu mengembangkan sikap toleransi beragama. Damai, salam, saloom, om swasti....
Saking semangatnya pemerintah menentukan hari libur, maka tanggal 31 Maret hari Jum'at, juga ikut diliburkan. Saya tidak melihat esensi yang dalam dari keputusan pemerintah ini. Berita di Kompas, 21 Maret 2006, tahun 2006, Cuti Bersama Enam Hari memuat alasan ditetapkannya tanggal 31 Maret 2006, dan juga cuti bersama yang lain, untuk mengurangi tingkat bolos para pegawai (negeri tentu). Sungguh satu alasan yang luar biasa konyol. Dengan alasan itu kan sama saja pemerintah kalah oleh kebiasaan membolos, malah memberikan hadiah berupa liburan. Ibaratnya sudah mencuri mangga tapi malah dikasih kebunnya sekalian. Sama sekali bukan keputusan yang membangun etos sebuah bangsa. Saya yakin kita semua mahfum kalau pegawai negeri di Indonesia suka membolos dengan alasan "harpitnas". Tapi apakah untuk menghilangkan kebiasaan itu lantas pemerintah mengiyakan dan selanjutnya malah menjadikan sebagai hari libur "resmi". Aneh. Mungkin dalam pikiran para bijak penyelenggara pemerintahan itu bilang ya sudahlah, daripada membolos kankesannya buruk. Jadi sekalian aja dibuat hari libur, jadi nggak ada yang membolos. Ya tentu saja 100% bener Pak, kan libur. Gimana sih?
Betapa jauhnya perbedaan antara karyawan swasta dengan pegawai negeri. Karyawan swasta setiap hari harus fight, nggak bisa leha-leha. Berbeda dengan pegawai negeri yang aduhai santainya. Saya bukan iri, apalagi benci.
Saya tidak tahu apakah pegawai negeri negara tetangga seperti Malaysia juga dimanja oleh banyaknya liburan?

Monday, March 27, 2006

Radiowalking

Kalo di dunia blog ada istilah blogwaking maka di dunia per-radio-an saya iseng-iseng bikin istilah yang sama yaitu radiowalking. Maknanya kurang lebih : pindah-pindah gelombang radio untuk mendengar siaran yang cocok. Kalo cocok ya tetep stecun, kalo nggak ya radiowalking lagee.
Karena nggak naik mobil pribadi maka sarana yang saya pakai radiowalking ini adalah hp nokia 6610 keluaran 2003 tapi baru bisa terbeli tahun 2005 kemaren. Lumayan, bisa menampung sampai 20 channel radio fm. Jadi sepanjang perjalanan Cikampek-Jakarta pp saya bisa terus-terusan denger radio. Kadang-kadang bener-bener dengerin namun kadang-kadang dengernya sambil tidur ( jadi nggak denger ya? ). Apalagi kalo lagunya enak, kena ac dan bis nggak penuh penuh.
Sekilas emang asik, naik bis, apalagi yang ac, sambil denger radio. Tapi sebenernya ada nggak enaknya juga. Terutama kalo mau masang kabel ke hp. Repot. Apalagi kalo bis sedang penuh. Mana kabelnya panjang lagi, tangan bisa senggol sana-sini kalo nggak ati-ati. Nggak enaknya lagi,batere jadi cepet habis. Itu artinya, harus sering ngecas . Gara-gara hobi satu ini, saya harus ngecas hp 2 hari sekali. Trus nggak enaknya yang lain, telinga jadi sakit kalo tiba-tiba denger suara rusak ( kemresek ) karena gelombang radio yang tiba-tiba hilang. Maklum dengerinnya di atas bis yang melaju kencang. Hal-hal yang nggak enak itu pasti nggak akan dialami mereka-mereka yang radiowalking dengan sarana radio mobil.
Saat ini 20 gelombang yang tercatat di hp adalah : 90,2 Radio Bukit Indah Cikampek, 99,3 Lazuar Cikampek, 100,0 Prima Karawang, 93,5 Aksi Karawang, 90,0 El Shinta, 105,8 Ramako, 89,6 I Radio, 97,5 Motion, 96,7 Arh, 87,6 Hardrock, 95,1 Kiss,99,9 Jazz,91,6 Indika, 95,9 Smart, 88,0 Mustang, 102,2 Prambors, 94,7 U, 101,0 One, 101,8 Bahana, dan 90,4 Cosmo. Namun pada saat stecun saya juga masih bisa radiowalking ke gelombang yang lain. Jadi nggak ada istilah pendengar setia gitu.
Seperti sebuah produk, masing-masing radio punya keistimewaan sendiri-sendiri. Buat saya terutama acara dan penyiarnya ( sekarang sebutan untuk penyiar apa sih? announcer atau dj? ).
Kalo untuk acara, saat ini yang masih melekat di hati saya adalah Smart Wisdom and Motivation bersama Andrie Wongso dipandu oleh Andi Odang dan Nadia di radio Smart FM tiap senin jam 7-8 pagi. Acara ini buat saya, luar biasa. Benar-benar membangun mental orang untuk selalu berpikir positif, berfokus pada keberhasilan dan mencintai sebuah proses. Apalagi acara ini pas banget disiarkan di hari senin. Hari yang identik dengan kemalasan & kebosanan sehingga ada istilah I don't Like Monday. Apalagi untuk kehidupan di Jakarta, senin itu sama dengan kemacetan yang luarrr biasa. Nah, di saat saya lagi bete karena macet itulah, acara ini hadir dengan motivasi-motivasi yang bisa membangkitkan semangat.
Sedangkan untuk penyiar, saat ini saya masih kepincut sama Rafiq dan Poetri Soehendro dari I Radio dan Duo I ( Irwan Sastro dan Irwan Gunawan ) dari Indika. Rafiq dan Poetri Soehendro siaran tiap pagi jam 6 mpe 9 pagi, sedangkan Duo I cuap-cuap jam 16.00 - 20.00. Dua pasangan penyiar itu menurut saya udah menyatu banget. Kayak mimi lan mintuno. Kocak, konyol, dan cerdas. Mendengar celotehan-celotehan mereka saya suka cengar-cengir sendiri dalam bis dan nggak risi kalo ada orang lain yang liat.
Pokoknya dengan radiowalking, acara pergi dan pulang kerja jadi semangat.

p.s : mohon maaf kalau ada penyebutan nama yang salah.

Impian

"Saat kau menginginkan sesuatu, maka alam raya akan bergerak untuk membantumu" - Alkemis

Saya percaya benar dengan ucapan di atas. Berkali-kali saya menginginkan sesuatu dan seingat saya, saya selalu bertemu dengan orang atau apapun yang ada hubungannya dengan keinginan saya itu. Semua yang saya temui seolah menunjukkan jalan ke arah apa yang saya inginkan. Saya cuma harus bersikap dengan apa yang telah tersedia di depan mata. Apakah saya membuka diri atau menutup diri dengan tanda-tanda yang diberikan oleh alam raya itu. Namun apakah semua keinginan saya terpenuhi? Nggak juga. Saya pun mengerti soal ini. saya pun merasa kecewa bila ini terjadi. Saya perlu waktu agar mental saya bisa kembali normal.
Tapi saya punya pertanyaan dari dua hal di atas yaitu : apakah semua yang terlibat dalam keinginan saya sudah disediakan Tuhan atau memang karena saya sengaja mencarinya? Saya tidak tahu.

p.s : terima kasih buat Mba Shobi yang telah berbaik hati meminjamkan novelnya.

Friday, March 24, 2006

Api di ladang jagung

Siapakah yang menaruh api di ladang jagung kami di musim panas ini? Maka api pun tak lama berkobar. Binatang-binatang berlari dalam kalut. Orang-orang berhamburan menyambut maut. Serangga-serangga malam serempak terbang tanpa pemberitahuan. Lalu tak lama kemudian, ladang jagung telah berubah jadi ladang pembantaian harapan. Meninggalkan jejak berupa abu, asap dan juga kepedihan.

Siapakah yang menaruh api di ladang jagung kami di musim panas ini? Orang-orang jadi kehilangan harapan. Karena tak jadi panen tahun ini. Ini berarti anak-anak tak bisa sekolah, makan cuma ketela kering sisa panen kemarin dan ambil hutang bibit jagung lagi kepada tengkulak.

Pada awalnya adalah berita akan dibangunnya jalan raya yang lebar dan mahal di atas ladang jagung ini. Siapapun yang punya ladang jagung ini harus mau pindah. Ada uang pengganti katanya. Namun kami tak tahu apakah jumlahnya bisa untuk membeli ladang jagung yang sama dengan ladang jagung kami. Lalu mereka datang, membawa uang dan surat perjanjian. Satu-satu kami disuruh tanda tangan. Tapi kami menolak. Mereka pun pulang. Kami lega. Esok harinya mereka datang lagi. Lagi-lagi bawa surat perjanjian dan uang, jumlahnya ditambah kata mereka. Kami masih menolaknya. Mereka pun pulang. Tapi kami tidak lega, bahkan kami merasa khawatir dan cemas. Karena saat mereka pulang, kami lihat ada api berkobar di mata mereka.

Akhirnya inilah yang terjadi. Kami sekarang cuma bisa melihat abu dan sisa-sisa asap kebakaran.

Tuesday, March 21, 2006

Tayangan Berita Kerusuhan di Papua : Kebenaran vs Manfaat

Bapak Effendi Gazali (BEG), Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Ikut Aktif dalam Advokasi Media dan Demokratisasi di Papua & Komentator Tetap para penampil di acara Republik BBM, menulis di Kompas edisi Selasa, 21 Maret 2006 dengan judul Membasuh Luka Papua di Layar Kaca. Inti tulisan tersebut menurut saya adalah keberatan BEG terhadap tayangan kekerasan di Abepura, Papua (16/3). Karena menurut beliau, tayangan tersebut bisa memberikan stereotip buruk karakter masyarakat Papua di mata khalayak. Dalam hal ini yang saya tangkap adalah bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat barbar, suka menyiksa orang tanpa belas kasihan, dan stereotip buruk lainnya.
Apa yang menjadi kekhawatiran BEG memang benar. Karena apa yang tersaji di layar kaca pada saat kejadian memang sangat potensial membuat pemirsa mempunyai pendapat buruk tentang masyarakat Papua. Siapapun yang masih punya rasa kemanusiaan pasti akan : marah (kepada warga Papua yang masih terus menghajar anggota Brimob yang sudah tak berdaya)dan kasihan, trenyuh, nelongso,(atas nasib Brimob yang begitu mengenaskan). Selanjutnya bisa dipastikan sebagian besar komentar akan mengecam perbuatan masyarakat Papua tersebut. Karena memang secara kemanusiaan hati nurani kita akan berkata tindakan barbar tersebut tidak bisa dibenarkan. Tayangan tersebut jelas memberikan citra negatif untuk masyarakat Papua dan menjadi kontra produktif terhadap perjuangan rakyat Papua selama ini. Namun apakah pada saat sekarang warga Papua lebih mikirin citra positif dibandingkan dengan hak-hak mereka yang dirampas? Apakah lebih penting jaim dari pada terus menerus diam dijajah? Dan yang terpenting : adilkah kita kalau setelah melihat tayangan berita kerusuhan di Abepuara lantas kita membuat stereotip negatif kepada masyarakat Papua?

Luka Papua
39 sudah, sejak 1967, masyarakat Papua kehilangan haknya sebagai pemilik syah kekayaan alam bumi cendrawasih itu. Kenyataan itu makin diperparah dengan efek negatif yang diakibatkan dari ekspolitasi besar-besaran oleh Freeport Indonesia. Pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah apa yang mereka miliki sekarang. Kemiskinan dan kelaparan adalah sahabat mereka sehari-hari. 39 tahun masyarakat Papua harus mengalami penderitaan semacam itu. Belum lagi teror yang dilakukan oleh militer Indonesia, apabila ada diantara mereka sedikit saja menyuarakan haknya.
Inilah luka Papua. Sebuah luka tanah jajahan. Ya, apa bedanya Papua saat masih dikuasai Belanda dengan Papua sekarang? Sama sekali tidak berbeda, bahkan mungkin lebih menyakitkan. Karena Papua tetap terluka dan menderita sebagai negeri jajahan. Apa yang sudah diambil dari bumi Papua tidak memberikan manfaat yang sepadan dengan apa yang diterima oleh mereka. Ibarat mengeluarkan seratus tapi yang balik cuma sepuluh. Itupun masih disunat sana sini. Alangkah tidak, tidak, tidak adilnya Jakarta kepada Papua. Dan ketidakadilan yang diderita Papua selama ini tidak diketahui oleh orang lain. Karena memang keadaan ini tidak pernah diberitakan oleh pers. Hal ini bisa terjadi karena disengaja oleh penguasa dengan alasan kalau kondisi Papua diketahui oleh pihak luar maka akan terjadi suara-suara miring kepada penguasa sehingga makin lama kewibawaan penguasa bisa terguncang. Dengan alasan menjaga kewibawaan penguasa itulah 39 tahun masyarakat tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Pers baru memberitakan keadaan Papua saat terjadi kemiskinan di Yakuhimo. Setelah pemberitaan masalah ini barulah masyarakat luas, Indonesia dan luar negeri, menjadi terbuka matanya. Sontak seluruh perhatian makin diarahkan ke Papua. Tanah yang mengandung emas, tetapi penduduknya miskin berteman busung lapar.
Luka yang sudah berusia 39 tahun tentu membuat orang Papua frustasi. Jangankan Papua, siapapun kita yang mendapat tekanan bertahun-tahun, mencoba menyuarakan keinginannya tapi malah tambah ditekan,pasti akan sampai pada titik frustasi. Ini adalah persoalan yang sangat manusiawi. Seperti rakyat Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Akhirnya juga frustasi dan berani untuk menggulingkan Soeharto.
Rasa frustasi itulah yang bisa membuat mata jadi gelap. Mereka tidak bisa melihat kenyataan dengan akal sehat. Yang ada di hati mereka hanyalah amarah. Dan ini manusiawi sekali. Inilah sebenarnya yang harus diketahui dan dipahami benar oleh pejabat-pejabat pembuat keputusan untuk masyarakat Papua. Sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar untuk kepentingan masyarakat Papua semata. Hingga orang Papua bisa berkata :" Nah, yang ini baru pas buat saya". Bukan kebijakan semu yang hanya untuk menipu dan membuai mereka sementara alias kebijaksanaan obat bius. Kebijakan yang justru menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Dengan beban luka 39 tahun itulah, ketika terjadi demonstrasi di Uncen (16/3) barangkali bagi masyarakat Papua siapapun yang menghalangi adalah musuh yang harus dihadapi dengan cara apapun. Termasuk dengan cara kekerasan. Saya tidak menganggap masyarakat Papua adalah masyarakat yang pro kekerasan, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tidak, tapi yang perlu digarisbwahai adalah pada situasi demonstrasi dimana berkumpul massa dalam jumlah besar, maka satu percik api kecil bisa menjadi lautan api yang menghanguskan dalam sekejap. Tak perlu teori psikologi yang paling canggih sekalipun untuk menjelaskan situasi tersebut. Dengan akumulasi luka yang begitu besar dan lama, maka masyarakat Papua menjadi masyarakat yang sensitif terhadap segala hal yang berasal dari luar. Rasa sensitis ini sangat mudah berubah menjadi gerakan massa yang tak terkendali. Person dalam massa hilang. Karena ia melebur dalam massa. Bergerak atas nama massa, berperilaku seperti massa. Tak ada kontrol pribadi. Akibatnya terjadilah kerusuhan massa dan salah satu cerita yang mengikutinya adalah aksi penganiayaan oleh warga Papua kepada aparat Brimob.
Peristiwa semacam ini bisa terjadi dimanapun dan kapanpun di muka bumi ini. Demonstrasi dalam skala besar dengan trigger persoalan yang sudah mengendap begitu lama memang sangat berpotensi menjadi aksi brutal. Aparat ataupun petugas yang berkewajiban mengamankan demonstrasi tersebut pun bisa hilang nalar dan berubah menjadi segerombolan preman dengan pentungan dan senapan bisa seenaknya menghajar para demonstran. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Menurut saya bukan demonstran ataupun aparat. Yang salah dalam hal ini adalah situasi yang telah sekian lama dibentuk oleh kebijaksanaan yang tidak tepat sehingga pada moment yang tepat meledaklah menjadi kerusuhan dengan semua implikasinya.

Papua merdeka?
Peristiwa Abepura atau Uncen telah terjadi namun belum berlalu. Karena aparat Brimob masih mencari dan menangkapi warga yang terlibat kerusuhan di Abepura. Yang menjadi korban bukan hanya warga sipil tapi juga wartawan yang meliput peristiwa itu. Kisah kepedihan bangsa Indonesia bertambah satu lagi. Sungguh ironis, peristiwa kekerasan ini justru terjadi pada saat Indonesia dianggap sebagai bangsa demokratis terbesar oleh sebagian besar bangsa di dunia. Indonesia mampu melaksanakan pemilihan umum untuk memilih parlemen dan eksekutif secara langsung dengan cara damai tanpa pertumpahan darah sedikit pun. Namun ibaratkan seorang Bapak, Indonesia gagal mewujudkan keinginan anak-anaknya. Kini anak-anaknya telah bercerai-berai. Mereka merasa bapaknya" sudah tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Bapaknya lebih mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan telah tega menjual anaknya.
Salah satu anak yang terluka itu adalah Papua. Yang kini makin tambah terluka karena peristiwa ini. Seandainya Jakarta tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan adil, maka niscaya tak ada lagi citra positif Jakarta yang masih melekat di mata masyarakat Papua. Tiadanya citra positif tersebut membuat jarak emosional masyarakat Papua sebagai bagian dari Indonesia makin melebar. Bahkan apabila luka itu masih saja terulang maka pada saatnya mereka akan mengatakan dengan gagah bahwa :"Kami bukan lagi bagian dari Indonesia". Papua tidak akan lagi menjadi anak yang manis bagi Indonesia.
Pejabat-pejabat di Jakarta harusnya belajar banyak dari peristiwa ini. Karena saya yakin masih banyak Papua-Papua yang lain yang mengalami hal yang sama, yang hanya jadi sapi perahan bagi Jakarta. Kalau pejabat-pejabat Jakarta tidak mau belajar dan terus membuat kebijaksanaan obat bius maka bukan tidak mungkin nama Indonesia benar-benar akan menjadi sejarah.

Sunday, March 19, 2006

Syifa Kena Bronkitis Kronis

Jenis Pemeriksaan THORAX AP/PA
Hasil Cor, sinuses dan diafragma normal
Pulmo : Hili normal, corakan bertambah
Tampak infiltrat di perihiler kanan

Kesan : Susp KP aktif lesi minimal
Bronchitis kronis
(Hasil Pemeriksaan Rontgen di RSU Saraswati, Jl. Jend. A. Yani no. 27, Sentul, Cikampek)

Perasaan apa yang berkecamuk di dada orang tua saat mendengar hasil pemeriksaan laboratorium kesehatan atau diagnosis dokter tentang kesehatan anaknya? Saya berani bertaruh kebanyakan dari mereka pasti syok. Saya juga mengalami hal demikian. Seperti juga orang yang lagi syok, untuk beberapa saat saya tidak bisa berkata apa-apa. Di pikiran saya cuma ada pertanyaan-pertanyaan soal apakah yang salah dengan cara kami, saya dan istri tentu, dalam merawat anak kami, Tiara Syifa Laksmi?
Sekuat tenaga kami menjaga Syifa jangan sampai sakit. Batuk,pilek, panas, gatal-gatal sedikit saja langsung bawa dokter atau minimal bidan lah. Saya kira ini wajar saja. Orang tua lain juga pasti melakukan hal yang sama. Dan itu terbukti efektif. Syifa cepet sembuh kalau lagi kena penyakit seperti itu. Singkatnya, begitu obat dari dokter habis maka habis pula penyakit Syifa. Makanya saat membaca hasil rontgen Syifa, kami begitu syok.
Akhirnya setelah melewati moment hilangnya kesadaran akibat syok, saya mencoba mencari langkah apa yang harus dilakukan. Yang pertama, kami menyerahkan hasil rontgen ke dokter. Dan dengan segera dokter memberikan resep obat yang harus segera kami tebus, disertai beberapa nasehat, seperti Syifa harus selalu dijaga jangan sampai kecapekan, Syifa harus tetap makan, Syifa harus jauh dari debu atau benda-bendayang terkena debu, Syifa nggak boleh kena angin, Syifa harus banyak tidur, dan lain-lain.
Istri saya langsung berbagi cerita dengan ibu-ibu tetangga yang anaknya juga pernah kena bronkitis kronis.Tiga anak dari tetangga samping rumah pernah kena. Dua anak tetangga depan rumah juga pernah kena. Bahkan ada yang sampai sekarang masih gampang banget kena batuk. Mendengar tetangga cerita seperti itu tidak lantas kami jadi tenang atau merasa “ada temen”. Tapi setidaknya dengan cerita seperti itu kami tahu cara menanganinya dan kami bisa lebih hati-hati.
Sampai saat ini kami masih memberikan pengobatan kepada Syifa. Kami harus sabar menjalani pengobatan yang kata dokter bisa 6 bulan. Kami juga benar-benar menjaga dia seperti apa yang dikatakan oleh dokter. Dan tak kalah penting kami memohon kepada allah SWT agar Syifa lekas bebas dari bronkitis kronisnya sekaligus diberi kesehatan yang baik.
Kami juga berpikir positif. Bahwa kami beruntung dekat dengan dokter dan sarana kesehatan yang bisa dikatakan memadai, sehingga kami jadi tahu kalau Syifa kena bronkitis kronis. Kami nggak perlu menebak-nebak lagi ada apa dengan Syifa saat batuk nggak sembuh-sembuh dan berat badannya jadi 9,8 kg dari 11 kg di usianya yang 17 bulan. Rasa syukur kami karena diberi kekuatan finansial, meski pakai tabungan segala, buat membiayai itu semua mulai dari pemeriksaan, pengobatan sampai perawatan. Karena kami tahu ada berjuta-juta orang tua seperti kami yang hanya bisa pasrah saat anaknya kena bronkitis kronis. Barangkali tahu anaknya kena bronkitis aja udah untung. Karena bisa jadi mereka cuma tahu anaknya batuk tapi nggak bisa sembuh. Akhirnya memberi obat batuk biasa bukan obat yang memang khusus untuk terapi bronkitis kronis. Hingga kemungkinannya bronkitis itu akan mengendap dan meluas ke arah paru-paru.
Sekali lagi kami bersyukur dan tetap berpikir positif.

Ya Rabb,
Berikan kami kekuatan, kesabaran dan kemudahan
Dalam merawat amanat-MU
Tanamkan dalam hati kami
Rasa cinta kepada anak-anak kami
Rasa cinta yang tidak memisahkan kami dari kasih-MU
dan untuk mereka yang tidak seberuntung kami, Ya Rabb
berikan mereka kekuatan, kesabaran dan kemudahan seribu kali lipat dari kami

Thursday, March 16, 2006

Daulat Rakyat yang Hilang

Daulat rakyat adalah gambaran ideal tentang sebuah kehidupan bermasyarakat. Daulat rakyat memberikan kekuasaan penuh dan otorisasi murni kepada rakyat itu sendiri. Rakyat bebas mengekspresikan kehendaknya. Tak ada pihak yang melarang, membelenggu ataupun membatasi kemauan yang mereka miliki.
Namun gambaran daulat rakyat kadang dimanipulir oleh beberapa sekelompok politisi atas nama kekuasaan. Padahal kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan wewenang yang diamanatkannya. Celakanya semua itu berbungkus demokrasi, kesejahteraan dan kemanusiaan.
Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa hegemoni kekuasaan dari sebuah lembaga resmi, sebut kerajaan, dalam kehidupan bermasyarakat begitu besar. Maka yang muncul adalah kalimat “Daulat tuanku”. Kalau dalam kesenian tradisional seperti kethoprak adegannya digambarkan seorang abdi kerajaan atau rakyat biasa yang menghadap raja dengan kepala tertunduk kemudian memberi hormat dengan mengatakan kalimat di atas. Luar biasa. Bahwa manusia di dunia begitu pandai membuat kelas. Ada kelas raja atau bangsawan yang mendapat previlege begitu besar dan ada kelas yang berlawanan, yaitu rakyat yang tak memiliki previlege apa-apa bahkan untuk tubuh miliknya sendiri.

Sejarah tak berubah
Waktu pun bergulir, tapi sejarah tak pernah berubah. Penguasaan atas daulat rakyat tetap terjadi bahkan menjadi lebih meluas dalam segala peri kehidupan rakyat, termasuk dalam hal penguasaan aset kekayaan alam. Rakyat yang hidup di wilayah yang memiliki kekayaan yang berlimpah akhirnya hanya menjadi pengemis yang hina. Rakyat dipaksa untuk melepaskan daulatnya atas alam yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Rakyat tidak punya hak apapun untuk memiliki bahkan mengolahnya demi kesejahteraan mereka. Para penguasa begitu rakus untuk mengolah bahkan mengambil habis-habisan semua kekayaan alam di suatu wilayah. Apalagi jika penguasa tersebut sudah bisa didikte oleh kekuatan asing yang lebih kuat.
Sejarah Aceh dengan gas dan minyaknya, sejarah Papua dengan emasnya dan kini terulang lagi di Cepu, Jawa Tengah. Kisah ini hanyalah segelintir dari kisah-kisah perebutan kekayaan alam yang lebih mengerikan dan brutal oleh negara / penguasa. Rakyat tidak memiliki posisi tawar menawar apalagi daulat yang kuat. Sama seperti dahulu kala saat raja dan para bupati menerima upeti dan persembahan dari rakyatnya. Mereka hanya menjadi sapi perah yang terus menerus dihisap susunya. Sementara penguasa tidak pernah memperhatikan kesejahteraan ataupun sedikit mempertimbangkan bagaimana kondisi fisik rakyatnya. Peras terus, hisap selamanya dan baru berhenti saat rakyat meregangkan nyawanya. Atau bahkan penghisapan tetap dilakukan meskipun rakyat sudah ditanam di tanah?.
Inilah fakta sejarah yang terus terjadi. Tak ada kontrol terhadap perilaku para penguasa. Karena siapakah yang berdaya ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang?

Hukum adat
Pada sisi lain sebenarnya rakyat mempunyai kearifan sendiri dalam memperlakukan alam dan semua kekayaan yang dikandungnya. Mereka dengan sadar melihat bahwa alam hakekatnya adalah pengejawantahan kemurahan Tuhan untuk manusia. Karena itu mereka mempunyai sikap untuk menjadikan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijaga. Pengetahuan-pengetahuan lokal melahirkan banyak sekali tata cara bagaimana mengolah alam dengan bijaksana. Semua pengetahuan itu terangkum dalam suatu hukum adat.
Hukum adat yang mengatur daulat manusia atas dirinya sendiri, atas alam dan atas Tuhan sang Pencipta. Tiga aspek dasar yang termuat dalam hukum adat memberikan suasana yang ideal dalam mengatur hubungan antara manusia, alam dan Tuhan Pemilik Semesta.
Sebagai sebuah produk hukum, hukum adat mempunyai tingkat kualitas yang teruji dengan sempurna. Hukum adat menciptakan suasana tertib dan harmonis dalam berkehidupan. Terjadi keseimbangan antara masyarakat dan alam sekitarnya. Tak ada lagi situasi eksploitasi atas satu sama lin. Semuanya setara dan sejajar. Karena itu hukum adat berlaku secara turun temurun. Dimana para tetua masyarakat akan selalu mengajarkan kepada para anggota masyarakat yang lebih muda untuk mengamalkan hukum alam tersebut. Jelas keberadaan hukum adat tidak bisa dipandang remeh apalagi mencoba untuk menafikkannya, menganggap tidak ada.

Negara memperkosa hukum adat
Tapi justru yang terjadi sungguh ironis. Atas nama pembangunan, negara dengan sewenang-wenang telah merusak hukum adat dan menggantikan dengan hukum produk negara. Muatan-muatan yang ada pada hukum negara seringkali banyak bertentangan dengan kenyatan yang ada di lapangan. Akibatnya sering terjadi benturan-benturan antara rakyat setempat dengan negara. Sialnya dari benturan yang terjadi rakyatlah yang selalu disalahkan kemudian dikalahkan.
Negara dengan kekuatan militernya dengan garang dan intens terus memberangus rakyat yang justru harus mereka lindungi. Militer menggunakan semua kemampuan dan fasilitas tempur untuk memberangus rakyat yang tak punya kekuatan apa-apa. Ini aneh, ada perang kok antara tentara yang terlatih dengan rakyat sipil yang buta dalam soal peperangan. Dari hitung-hitungan rasional jelas rakyat akan m
engalami kekalahan. Karena rakyat tidak punya amunisi dan strategi perang. Rakyat pun melawan seadanya dengan bekal apa adanya pula. Kondisi apa adanya itulah yang menjadikan tidak ada hirarki ketentaraan seperti batalion, kompi, regu, dst. Rakyat menyatukan dirinya dalam satu kelompok perlawanan dan melakukan perlawanan gerilya. Orde Baru dengan liciknya menciptakan stigma kepada mereka sebagai gerombolan pengacau. Sebuah sebutan yang jelas-jelas berkonotasi negatif, karena jarang sekali ditemukan kata gerombolan diikuti dengan kata benda yang berasosiasi positif. Tidak ada sebutan gerombolan ulama, gerombolan, guru, gerombolan petani dan sebagainya. Yang ada hanyalah gerombolan maling, gerombolan serigala, dan gerombolan pengacau keamanan (yang ini versi ORBA) itu. Dari kelompok perlawanan itulah mereka mulai mengorganisir diri. Mereka pun bukan hanya melawan dengan kekuatan senjata. Tetapi juga kekuatan diplomasi. Ingat Timor Leste dan Aceh.
Namun sebenarnya yang perlu digarisbawahi adalah bahwa intervensi tentara dalam wilayah kehidupan masyarakat telah dengan jelas mencabik-cabik tata hukum adat yang begitu agung. Dengan demiian keberadaan hukum sekaligus daulat rakyat telah hilang ditelan mesiu dan bau amis darah. Akankah kita membangun Indonesia dengan cara demikian?

Monday, March 06, 2006

Raju oh Raju

Sial bener nasibmu nak. Disidang di lembaga pengadilan di Indonesia. Sebuah lembaga yang justru menjauhkan dirimu dari keadilan. Sebuah lembaga yang mukanya mirip monster, musuh pahlawan-pahlawan yang kamu kagumi. Dan kini kamu sendirilah yang menghadapi monster-monster itu. Sedangkan pahlawan-pahlawan yang kagumi entah berada dimana.

Kuatkan hatimu nak. Karena para monster itu tak punya hati. Mereka hanya punya satu mata itupun buta. Sayang sekali. Jadi mereka, para monster itu, nggak bisa melihat dengan cara pandang yang beda. Mereka nggak peduli apa yang namanya trauma, keadilan hukum, psikologis anak, dunia anak-anak, ataupun istilah lain yang melukiskan penderitaanmu. Mata dan hati mereka telah tertutup sama pasal-pasal hukum dunia monster.

Inilah realita dunia hukum para monster. Anak kecil sepertimu harus menanggung beban batin dan pengalaman menakutkan seumur hidup, sementara para bandit yang jelas-jelas sudah membuat teror justru dibiarkan jalan-jalan. Bebas berkeliaran kayak anjing hutan.

Percayalah nak, Bapak, Ibumu dan berjuta-juta orang yang dari jauh hanya bisa melihatmu, itupun hanya lewat tv, terus mendukungmu. Mencoba membuat kamu tertawa di tengah traumamu.