Thursday, April 21, 2005

puisi-puisi lama

Aktifitas apa yang paling mengasyikan buat mengisi libur panjang?.
Jawabannya pasti beragam dan semuanya tentu mengasyikan, wong dilakukan pas liburan, panjang lagi.
Salah satunya mungkin buka-buka album atau arsip-arsip lama. Dari hasil buka-bukaan itulah, kemarin saya menemukan beberapa puisi lama. Puisi-puisi itu dibuat antara tahun 1995-1998
Ada yang diterbitkan di majalah kampus, dibacakan di komunitas pencinta sastra di Solo dan ada yang cuma disimpan.
Melihat puisi-puisi itu, jujur saya pengen ketawa. Sekaligus heran, darimana datangnya kata-kata dalam puisi-puisi itu?
Kali ini saya mau menuliskan kembali puisi-puisi lama saya. Bukannya mau sok tapi puisi-puisi saya itu tercetak di kertas yang warnanya sudah agak kekuningan dan bau apek. Yach, gak rela rela juga kalo hasil tulisan cuma berada di media seperti itu.
Inilah beberap puisi itu :

Soliloqui Hutan-hutan

Dari Aceh, Kalimantan, Philipina, Meksiko dan Dataran Afrika
Hutan-hutan sedang menangis
Tangan-tangan peradaban dengan rakus
mencerabut keperawanan mereka
sampai ke akar-akarnya.

Suara hutan kini bukan lagi desau angin, gemericik air, ranting patah dan suara-suara binatang
Tapi gemuruh mesin-mesin
memekakkan telinga
:angkuh dan bising

Gerak angin hutan adalah suara kecemasan
Kecemasan penghuni jagad raya
Dan manusia?
Manusia yang selalu tergoda
terus saja membabat hutan tanpa kecemasan

Bumi bergetar
Udara panas dan beracun
Ozone bocor

Selaksa awan hitam dari balik jendela langit
bergerak ke bumi
mengabarkan duka yang panjang
bahkan episode kematian

Apakah hutan ini sebuah hadiah
untuk kita habiskan
ataukah titipan
untuk kita jaga?

Ternyata,
hutan adalah hadiah besar
dari sebuah pesta besar
dan kita merasa berhak
menghabiskan secepat-cepatnya.

Solo, 15 September 1995
(Dibacakan saat peringatan Hari Bumi 22 April 1996,di F. Geografi UMS)
---------------------------------------------------
Obituari Kota

Menelususri trotoar kota tengah malam
adalah menelususri jejak-jejak sejarah
dan keping-keping cerita yang tertinggal
Dalam setiap langkah terkuak satu-persatu sejarah
tentang kota-kota

Kota-kota dibangun di atas semangat eksploitasi
dan bukan keselarasan
hingga nampak wajah kota
yang dingin dan kejam

Semua orang berputar
dalam arus kuat perburuan
bagai laba-laba lepas dari jaringnya
:memakan atau dimakan

Seakan tak pernah henti
dalam lompatan waktu
orang-orang bergerak cepat
dikejar-kejar bayangnnya sendiri

Menelusuri kota tengah malam
adalah melihat jalanan yang macet dan pengap
debu-debu mengotori wajah
dan panas memanggang kepala
serta melihat manusia berebut tulang,
seperti anjing
Kemakmuran kota hanyalah milik mereka
yang diam di gedung-gedung menara
dan sisa-sisa hanya untuk mereka yang di pinggir kali, emper toko dan di jalanan

Menelusuri trotoar kota tengah malam
adalah mendengar suara-suara yang sulit dimengerti
karena setiap orang menciptakan kehidupan kota
di pikiran, hati, tangan, perut, taring dan air liur sendiri-sendiri

Orang-orang bertegur sapa hanya karena kepentingan
dan bukan cinta
karena cinta bisa didapat kelewat gampang
di diskotik, nite club, panti pijat sampai keremangan malam pinggir jalan
dengan beribu aroma purba yang ditawarkan

Menelusuri trotoar kota tengah malam
adalah meraskan diri sendiri sepi
di tengah keriuhan manusia dan kota

Solo, 15 September 1995
(Dibacakan saat peringatan Hari Bumi 22 April 1996,di F. Geografi UMS)
--------------------------------------------

Rumah Kaca

Melihat titik-titik hujan menusuk-nususk kaca jendela
bagai mendengar orkestrasi nyanyian bunga, burung dan bulan
Ada kecemasan di tengah kegaduhan
banyak orang saling diam
menghayati makna cinta

Duka yang tenggelam di antara kata-kata palsu
adalah tikaman yang mencabik-cabik kesetiaan
mulut kelu menghamburkan caci maki yang dirampai dalam orasi memabukkan
keliaran hati mencoba menerobos dinding itu
pikiran jelajahi segala kemustahilan
warna-warna pelangi semakin kabur oleh kabut

Seperti sebuah perjalanan panjang dalam hitungan waktu
ketidakberdayaan menghadirkan bau kematian
atau proses pemumian
Ketakutan menekan kebebasan dan gairah
Jadilah penonton segala cerita,
ya hanya penonton
Diam atau dipaksa bisu
duduk di pojok-pojok kehidupan
atau bergerak terpatah-patah
berjalan dengan kacamata kuda
tanpa jiwa
ini lengkaplah episode kematian itu
Hujan yang membuat kabut pada kaca jendela mengiringi prosesinya

Tinggallah kini tangan-tangan yang mengepal lunglai

Solo, 22 November 1996
----------------------

Radya Pustaka Senja Hari

Udara beku di pintu-pintunya
Kesunyian merayap
lewat terali besi jendela
angin berhembus, pelan-pelan
memantul pada dinding-dinding
kemudian mengendap danmenikam diam-diam

Arca, prasasti, buku-buku tua,
panji-panji dan pusaka
hadirkan jejak para leluhur
mengajarkan bagaimana mengolah kehidupan
dengan pikir dan rasa
agar anak cucu
tahu memaknai sejarah,
mengukir keabadian kisah

Benda-benda di sini
tidaklah mati
Mereka bercahaya
seperti bintang-bintang
menerangi nelayan,
memberi tanda petani
Karena itu kilau terangnya
harus terus dijaga
dari debu jaman tua
yang selalu menggoda

Dua turis bule
memotret patung Dewa Syiwa
yang patah satu tangannya
dan di luar
orang-orang saling kejar
demi ambisi yang lapar

Sungguh
ini bukanlah menunggu kematian tiba
sebab bertahan dalam diam
adalah seberang sudut yang berbeda
Meski nafas tinggal sisa
tek sururt dalam pergulatan
di dunia tanpa batas
Terkapar atau jaya
bukanlah esensinya

Radya Pustaka
dialah kesetiaan
kepada mutiara peradaban
Hingga kita tak perlu ke Belanda
untuk mengerti wajah moyang sendiri

Solo, Juli - Sepetember 1997
---------------------------

Kepada nama-nama yang tertulis di dinding-dinding penjara
(untuk anakku,Azza)

Kebisuan menyapa malam-malam yang tidur abadi
mengantar mimpi tentang makna kedamaian
ada titik cahaya menerobos jendela tak bertirai
suara tangis bayi adalah nyanyian surga
bagi jiwa yang terpaku dalam kungkungan waktu

perempuan-perempuan dari tanah yang jauh, kemarilah
bimbing jiwa malang ini ke lembahmu
agar hari-hari yang akan lewat menjadi lebih berarti

Semesta semburatkan warna-warni kehidupan, di luar sana
sisi yang tak terjangkau
seperti ketidakberdayaan meraih batas langit
hanya melihat, hanya melihat
(ah, betapa kuingin menyentuh tangan mungil itu)

Solo, September 1997
--------------------

Orasi Kesendirian

Saat di meja makan pertama:
muncul seribu bayangan duka
banyak yang berlalu, pagi itu
orang masih mabuk dengan impiannya
Dari radio keluar berita-berita basi, naiknya harga-harga
Bukan itu yang disebut perubahan!
"dimanakah sebernarnya keindahan bersemayam?"

Saat di meja makan kedua :
kesepian menekan tiba-tiba
ada jerit dari lorong tak bertepi
maka hidup hanya sebuah perjalanan lurus, tak berjiwa
bukan pengembaraan, bukan petualangan
:meneruskan yang sudah ada
padahal hidup berjalan ke depan

Saat di meja makan seterusnya :
N O L !

Solo, November 1997
-------------------------------

SUARAT PUTIH

Aku tulis surat ini
ketika lembaga resmi keadilan
telah jadi lembaga dagelan
dan simpanan anak cucu
sudah habis dibawa orang

Aku tulis surat ini
ketika harapan-harapan masa silam
hanyalah debu dari skenario besar
yang tak tahu siapa penulisnya
atau sebenarnya tahu
tapi tak kuasa menguaknya
sebab bentengnya makin kokoh
untuk dirobohkan
sedang mulut-mulut mereka terlalu lama dikunci
hingga cuma bisa menggumam
dan berkata terbata-bata,
sementara tubuh-tubuhnya terbelenggu
sampai beku

Aku tulis surat ini
karena pikiran kini telah dikacaukan
nurani tulus dikaburkan
:tanpa pilihan di tengah beratus jalan

ya, awan yang menggantung
kini tak lagi berarak
meski terkena hembusan angin
tetap menghalang terang matahari
dan biru warna langit,
tak tahu mana siang mana malam

Aku poskan surat ini
karena ingin sekali kukatakan padamu,saudaraku
bahwa matahari sewajarnya tenggelam
bahwa siang akan berganti senja
tak usahlah kau tunda kedatangnnya

maka sebelum waktu menjemput tiba
biarkan kami menikmati hangatnya matahari pagi,
embun dingin, dan suara cicit burung kecil
yang ingin bebas menjelajah angkasa

Sungguh
kuingin mengatakan kepadamu
namun aku aku cuma bisa menggumam
dan berkata terbata-bata
sedangkan tanganmu makin perkasa
hingga bisa menyeragamkan bahasa
dan membungkam suara-suara

Solo, Mei 1998
---------------



No comments: