Tuesday, March 21, 2006

Tayangan Berita Kerusuhan di Papua : Kebenaran vs Manfaat

Bapak Effendi Gazali (BEG), Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Ikut Aktif dalam Advokasi Media dan Demokratisasi di Papua & Komentator Tetap para penampil di acara Republik BBM, menulis di Kompas edisi Selasa, 21 Maret 2006 dengan judul Membasuh Luka Papua di Layar Kaca. Inti tulisan tersebut menurut saya adalah keberatan BEG terhadap tayangan kekerasan di Abepura, Papua (16/3). Karena menurut beliau, tayangan tersebut bisa memberikan stereotip buruk karakter masyarakat Papua di mata khalayak. Dalam hal ini yang saya tangkap adalah bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat barbar, suka menyiksa orang tanpa belas kasihan, dan stereotip buruk lainnya.
Apa yang menjadi kekhawatiran BEG memang benar. Karena apa yang tersaji di layar kaca pada saat kejadian memang sangat potensial membuat pemirsa mempunyai pendapat buruk tentang masyarakat Papua. Siapapun yang masih punya rasa kemanusiaan pasti akan : marah (kepada warga Papua yang masih terus menghajar anggota Brimob yang sudah tak berdaya)dan kasihan, trenyuh, nelongso,(atas nasib Brimob yang begitu mengenaskan). Selanjutnya bisa dipastikan sebagian besar komentar akan mengecam perbuatan masyarakat Papua tersebut. Karena memang secara kemanusiaan hati nurani kita akan berkata tindakan barbar tersebut tidak bisa dibenarkan. Tayangan tersebut jelas memberikan citra negatif untuk masyarakat Papua dan menjadi kontra produktif terhadap perjuangan rakyat Papua selama ini. Namun apakah pada saat sekarang warga Papua lebih mikirin citra positif dibandingkan dengan hak-hak mereka yang dirampas? Apakah lebih penting jaim dari pada terus menerus diam dijajah? Dan yang terpenting : adilkah kita kalau setelah melihat tayangan berita kerusuhan di Abepuara lantas kita membuat stereotip negatif kepada masyarakat Papua?

Luka Papua
39 sudah, sejak 1967, masyarakat Papua kehilangan haknya sebagai pemilik syah kekayaan alam bumi cendrawasih itu. Kenyataan itu makin diperparah dengan efek negatif yang diakibatkan dari ekspolitasi besar-besaran oleh Freeport Indonesia. Pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah apa yang mereka miliki sekarang. Kemiskinan dan kelaparan adalah sahabat mereka sehari-hari. 39 tahun masyarakat Papua harus mengalami penderitaan semacam itu. Belum lagi teror yang dilakukan oleh militer Indonesia, apabila ada diantara mereka sedikit saja menyuarakan haknya.
Inilah luka Papua. Sebuah luka tanah jajahan. Ya, apa bedanya Papua saat masih dikuasai Belanda dengan Papua sekarang? Sama sekali tidak berbeda, bahkan mungkin lebih menyakitkan. Karena Papua tetap terluka dan menderita sebagai negeri jajahan. Apa yang sudah diambil dari bumi Papua tidak memberikan manfaat yang sepadan dengan apa yang diterima oleh mereka. Ibarat mengeluarkan seratus tapi yang balik cuma sepuluh. Itupun masih disunat sana sini. Alangkah tidak, tidak, tidak adilnya Jakarta kepada Papua. Dan ketidakadilan yang diderita Papua selama ini tidak diketahui oleh orang lain. Karena memang keadaan ini tidak pernah diberitakan oleh pers. Hal ini bisa terjadi karena disengaja oleh penguasa dengan alasan kalau kondisi Papua diketahui oleh pihak luar maka akan terjadi suara-suara miring kepada penguasa sehingga makin lama kewibawaan penguasa bisa terguncang. Dengan alasan menjaga kewibawaan penguasa itulah 39 tahun masyarakat tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Pers baru memberitakan keadaan Papua saat terjadi kemiskinan di Yakuhimo. Setelah pemberitaan masalah ini barulah masyarakat luas, Indonesia dan luar negeri, menjadi terbuka matanya. Sontak seluruh perhatian makin diarahkan ke Papua. Tanah yang mengandung emas, tetapi penduduknya miskin berteman busung lapar.
Luka yang sudah berusia 39 tahun tentu membuat orang Papua frustasi. Jangankan Papua, siapapun kita yang mendapat tekanan bertahun-tahun, mencoba menyuarakan keinginannya tapi malah tambah ditekan,pasti akan sampai pada titik frustasi. Ini adalah persoalan yang sangat manusiawi. Seperti rakyat Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Akhirnya juga frustasi dan berani untuk menggulingkan Soeharto.
Rasa frustasi itulah yang bisa membuat mata jadi gelap. Mereka tidak bisa melihat kenyataan dengan akal sehat. Yang ada di hati mereka hanyalah amarah. Dan ini manusiawi sekali. Inilah sebenarnya yang harus diketahui dan dipahami benar oleh pejabat-pejabat pembuat keputusan untuk masyarakat Papua. Sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar untuk kepentingan masyarakat Papua semata. Hingga orang Papua bisa berkata :" Nah, yang ini baru pas buat saya". Bukan kebijakan semu yang hanya untuk menipu dan membuai mereka sementara alias kebijaksanaan obat bius. Kebijakan yang justru menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Dengan beban luka 39 tahun itulah, ketika terjadi demonstrasi di Uncen (16/3) barangkali bagi masyarakat Papua siapapun yang menghalangi adalah musuh yang harus dihadapi dengan cara apapun. Termasuk dengan cara kekerasan. Saya tidak menganggap masyarakat Papua adalah masyarakat yang pro kekerasan, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tidak, tapi yang perlu digarisbwahai adalah pada situasi demonstrasi dimana berkumpul massa dalam jumlah besar, maka satu percik api kecil bisa menjadi lautan api yang menghanguskan dalam sekejap. Tak perlu teori psikologi yang paling canggih sekalipun untuk menjelaskan situasi tersebut. Dengan akumulasi luka yang begitu besar dan lama, maka masyarakat Papua menjadi masyarakat yang sensitif terhadap segala hal yang berasal dari luar. Rasa sensitis ini sangat mudah berubah menjadi gerakan massa yang tak terkendali. Person dalam massa hilang. Karena ia melebur dalam massa. Bergerak atas nama massa, berperilaku seperti massa. Tak ada kontrol pribadi. Akibatnya terjadilah kerusuhan massa dan salah satu cerita yang mengikutinya adalah aksi penganiayaan oleh warga Papua kepada aparat Brimob.
Peristiwa semacam ini bisa terjadi dimanapun dan kapanpun di muka bumi ini. Demonstrasi dalam skala besar dengan trigger persoalan yang sudah mengendap begitu lama memang sangat berpotensi menjadi aksi brutal. Aparat ataupun petugas yang berkewajiban mengamankan demonstrasi tersebut pun bisa hilang nalar dan berubah menjadi segerombolan preman dengan pentungan dan senapan bisa seenaknya menghajar para demonstran. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Menurut saya bukan demonstran ataupun aparat. Yang salah dalam hal ini adalah situasi yang telah sekian lama dibentuk oleh kebijaksanaan yang tidak tepat sehingga pada moment yang tepat meledaklah menjadi kerusuhan dengan semua implikasinya.

Papua merdeka?
Peristiwa Abepura atau Uncen telah terjadi namun belum berlalu. Karena aparat Brimob masih mencari dan menangkapi warga yang terlibat kerusuhan di Abepura. Yang menjadi korban bukan hanya warga sipil tapi juga wartawan yang meliput peristiwa itu. Kisah kepedihan bangsa Indonesia bertambah satu lagi. Sungguh ironis, peristiwa kekerasan ini justru terjadi pada saat Indonesia dianggap sebagai bangsa demokratis terbesar oleh sebagian besar bangsa di dunia. Indonesia mampu melaksanakan pemilihan umum untuk memilih parlemen dan eksekutif secara langsung dengan cara damai tanpa pertumpahan darah sedikit pun. Namun ibaratkan seorang Bapak, Indonesia gagal mewujudkan keinginan anak-anaknya. Kini anak-anaknya telah bercerai-berai. Mereka merasa bapaknya" sudah tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Bapaknya lebih mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan telah tega menjual anaknya.
Salah satu anak yang terluka itu adalah Papua. Yang kini makin tambah terluka karena peristiwa ini. Seandainya Jakarta tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan adil, maka niscaya tak ada lagi citra positif Jakarta yang masih melekat di mata masyarakat Papua. Tiadanya citra positif tersebut membuat jarak emosional masyarakat Papua sebagai bagian dari Indonesia makin melebar. Bahkan apabila luka itu masih saja terulang maka pada saatnya mereka akan mengatakan dengan gagah bahwa :"Kami bukan lagi bagian dari Indonesia". Papua tidak akan lagi menjadi anak yang manis bagi Indonesia.
Pejabat-pejabat di Jakarta harusnya belajar banyak dari peristiwa ini. Karena saya yakin masih banyak Papua-Papua yang lain yang mengalami hal yang sama, yang hanya jadi sapi perahan bagi Jakarta. Kalau pejabat-pejabat Jakarta tidak mau belajar dan terus membuat kebijaksanaan obat bius maka bukan tidak mungkin nama Indonesia benar-benar akan menjadi sejarah.

1 comment:

Anonymous said...

wah .. dowo tenan tulisane ... :)