Thursday, March 16, 2006

Daulat Rakyat yang Hilang

Daulat rakyat adalah gambaran ideal tentang sebuah kehidupan bermasyarakat. Daulat rakyat memberikan kekuasaan penuh dan otorisasi murni kepada rakyat itu sendiri. Rakyat bebas mengekspresikan kehendaknya. Tak ada pihak yang melarang, membelenggu ataupun membatasi kemauan yang mereka miliki.
Namun gambaran daulat rakyat kadang dimanipulir oleh beberapa sekelompok politisi atas nama kekuasaan. Padahal kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan wewenang yang diamanatkannya. Celakanya semua itu berbungkus demokrasi, kesejahteraan dan kemanusiaan.
Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa hegemoni kekuasaan dari sebuah lembaga resmi, sebut kerajaan, dalam kehidupan bermasyarakat begitu besar. Maka yang muncul adalah kalimat “Daulat tuanku”. Kalau dalam kesenian tradisional seperti kethoprak adegannya digambarkan seorang abdi kerajaan atau rakyat biasa yang menghadap raja dengan kepala tertunduk kemudian memberi hormat dengan mengatakan kalimat di atas. Luar biasa. Bahwa manusia di dunia begitu pandai membuat kelas. Ada kelas raja atau bangsawan yang mendapat previlege begitu besar dan ada kelas yang berlawanan, yaitu rakyat yang tak memiliki previlege apa-apa bahkan untuk tubuh miliknya sendiri.

Sejarah tak berubah
Waktu pun bergulir, tapi sejarah tak pernah berubah. Penguasaan atas daulat rakyat tetap terjadi bahkan menjadi lebih meluas dalam segala peri kehidupan rakyat, termasuk dalam hal penguasaan aset kekayaan alam. Rakyat yang hidup di wilayah yang memiliki kekayaan yang berlimpah akhirnya hanya menjadi pengemis yang hina. Rakyat dipaksa untuk melepaskan daulatnya atas alam yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Rakyat tidak punya hak apapun untuk memiliki bahkan mengolahnya demi kesejahteraan mereka. Para penguasa begitu rakus untuk mengolah bahkan mengambil habis-habisan semua kekayaan alam di suatu wilayah. Apalagi jika penguasa tersebut sudah bisa didikte oleh kekuatan asing yang lebih kuat.
Sejarah Aceh dengan gas dan minyaknya, sejarah Papua dengan emasnya dan kini terulang lagi di Cepu, Jawa Tengah. Kisah ini hanyalah segelintir dari kisah-kisah perebutan kekayaan alam yang lebih mengerikan dan brutal oleh negara / penguasa. Rakyat tidak memiliki posisi tawar menawar apalagi daulat yang kuat. Sama seperti dahulu kala saat raja dan para bupati menerima upeti dan persembahan dari rakyatnya. Mereka hanya menjadi sapi perah yang terus menerus dihisap susunya. Sementara penguasa tidak pernah memperhatikan kesejahteraan ataupun sedikit mempertimbangkan bagaimana kondisi fisik rakyatnya. Peras terus, hisap selamanya dan baru berhenti saat rakyat meregangkan nyawanya. Atau bahkan penghisapan tetap dilakukan meskipun rakyat sudah ditanam di tanah?.
Inilah fakta sejarah yang terus terjadi. Tak ada kontrol terhadap perilaku para penguasa. Karena siapakah yang berdaya ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang?

Hukum adat
Pada sisi lain sebenarnya rakyat mempunyai kearifan sendiri dalam memperlakukan alam dan semua kekayaan yang dikandungnya. Mereka dengan sadar melihat bahwa alam hakekatnya adalah pengejawantahan kemurahan Tuhan untuk manusia. Karena itu mereka mempunyai sikap untuk menjadikan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijaga. Pengetahuan-pengetahuan lokal melahirkan banyak sekali tata cara bagaimana mengolah alam dengan bijaksana. Semua pengetahuan itu terangkum dalam suatu hukum adat.
Hukum adat yang mengatur daulat manusia atas dirinya sendiri, atas alam dan atas Tuhan sang Pencipta. Tiga aspek dasar yang termuat dalam hukum adat memberikan suasana yang ideal dalam mengatur hubungan antara manusia, alam dan Tuhan Pemilik Semesta.
Sebagai sebuah produk hukum, hukum adat mempunyai tingkat kualitas yang teruji dengan sempurna. Hukum adat menciptakan suasana tertib dan harmonis dalam berkehidupan. Terjadi keseimbangan antara masyarakat dan alam sekitarnya. Tak ada lagi situasi eksploitasi atas satu sama lin. Semuanya setara dan sejajar. Karena itu hukum adat berlaku secara turun temurun. Dimana para tetua masyarakat akan selalu mengajarkan kepada para anggota masyarakat yang lebih muda untuk mengamalkan hukum alam tersebut. Jelas keberadaan hukum adat tidak bisa dipandang remeh apalagi mencoba untuk menafikkannya, menganggap tidak ada.

Negara memperkosa hukum adat
Tapi justru yang terjadi sungguh ironis. Atas nama pembangunan, negara dengan sewenang-wenang telah merusak hukum adat dan menggantikan dengan hukum produk negara. Muatan-muatan yang ada pada hukum negara seringkali banyak bertentangan dengan kenyatan yang ada di lapangan. Akibatnya sering terjadi benturan-benturan antara rakyat setempat dengan negara. Sialnya dari benturan yang terjadi rakyatlah yang selalu disalahkan kemudian dikalahkan.
Negara dengan kekuatan militernya dengan garang dan intens terus memberangus rakyat yang justru harus mereka lindungi. Militer menggunakan semua kemampuan dan fasilitas tempur untuk memberangus rakyat yang tak punya kekuatan apa-apa. Ini aneh, ada perang kok antara tentara yang terlatih dengan rakyat sipil yang buta dalam soal peperangan. Dari hitung-hitungan rasional jelas rakyat akan m
engalami kekalahan. Karena rakyat tidak punya amunisi dan strategi perang. Rakyat pun melawan seadanya dengan bekal apa adanya pula. Kondisi apa adanya itulah yang menjadikan tidak ada hirarki ketentaraan seperti batalion, kompi, regu, dst. Rakyat menyatukan dirinya dalam satu kelompok perlawanan dan melakukan perlawanan gerilya. Orde Baru dengan liciknya menciptakan stigma kepada mereka sebagai gerombolan pengacau. Sebuah sebutan yang jelas-jelas berkonotasi negatif, karena jarang sekali ditemukan kata gerombolan diikuti dengan kata benda yang berasosiasi positif. Tidak ada sebutan gerombolan ulama, gerombolan, guru, gerombolan petani dan sebagainya. Yang ada hanyalah gerombolan maling, gerombolan serigala, dan gerombolan pengacau keamanan (yang ini versi ORBA) itu. Dari kelompok perlawanan itulah mereka mulai mengorganisir diri. Mereka pun bukan hanya melawan dengan kekuatan senjata. Tetapi juga kekuatan diplomasi. Ingat Timor Leste dan Aceh.
Namun sebenarnya yang perlu digarisbawahi adalah bahwa intervensi tentara dalam wilayah kehidupan masyarakat telah dengan jelas mencabik-cabik tata hukum adat yang begitu agung. Dengan demiian keberadaan hukum sekaligus daulat rakyat telah hilang ditelan mesiu dan bau amis darah. Akankah kita membangun Indonesia dengan cara demikian?

3 comments:

Anonymous said...

dowo bianget tulisane....
bagus tuh, dikirim ke koran, untuk tulisan opini......

sabda pandita ratu. sendiko dawuh. BULLSHIT............

Anonymous said...

(Maaf) Kadang aku sendiri suka bingung. Satu aja dan sederhana. Atas dasar apa sih yg membuat kita membenarkan diri sebagai orang paling Indonesia? Pertanyaan sama dgn bentuk beda. Atas dasar apa sih org Mongol, Kolumbia, Zimbabwe yg jadi American bisa menepuk dadanya dan bilang, "Im American!"

Mungkin pertanyaan ini paling banyak berbunyi di Aceh dan Papua. Pertanyaan ini pernah bikin geger Penataran P4 ku jaman nguli dulu dan terpaksa mesti kena panggilan khusus. Sedjak itu, aku benci bau politik. :)

langit biru said...

klo di sebutin bisa bnyk nih tatanan yg salah dinegara kita tercinta ini...
mulai dari sabang sampe merauke..
mulai dari Sukarno sampe SBY...

tp biar begitu tetap tanah tumpah darahku, tetap Indonesiaku..
dan aku akan tetap selalu bangga lahir dan besar di Indonesiaku...